5 Jenis Pekerja yang Seringkali Dianggap Bukan Pekerja

Istilah pekerja, buruh, karyawan, atau pegawai kerap disematkan pada mereka yang bekerja di kantor, pabrik, atau sebuah tempat kerja tertentu. Bagi yang tidak bekerja di tempat-tempat itu, mereka seringkali dianggap bukan pekerja. Misalnya, pekerja yang melakukan pekerjaan domestik rumah tangga, atau pekerjaan yang sifatnya membantu pekerjaaan pekerja lain, atau bukan pekerjaan utama. Benarkan demikian? Berikut 5 jenis pekerja yang seringkali dianggap bukan pekerja karena berbagai kondisi seperti di atas.


Pekerja atau adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima perintah dari pemberi kerja dan memperoleh upah atau imbalan dalam bentuk lain dari pemberi kerja tersebut. Pengertian pekerja yang demikian sebenarnya sudah cukup jelas, tapi masih saja ada jenis pekerja yang seringkali dianggap bukan pekerja. Karena tidak dianggap sebagai pekerja, mereka terpaksa bekerja dalam kondisi kerja yang buruk dan tidak mendapatkan hak-hak sebagai pekerja meski melakukan pekerjaan layaknya pekerja lainnya.

 

1. Pekerja Rumah Tangga

Istilah Pekerja Rumah Tangga atau PRT baru belakangan ini terdengar, seiring dengan perjuangan untuk pengesahan rancangan undang-undang perlindungan PRT (RUU PPRT). Sebelumnya, PRT disebut kerap disebut “babu” atau “pembantu” atau ada yang menyebut “Asisten Rumah Tangga” atau ART. Istilah-istilah ini tidaklah tepat karena penggunaan istilah PRT dimaksudkan untuk menegaskan bahwa PRT adalah pekerja.

Karena tidak dianggap sebagai pekerja, PRT bekerja dalam kondisi yang sangat amat rentan: hubungan kerja tak jelas, gaji rendah, hak dasar pekerja tak terpenuhi, dan rentan menjadi korban kekerasan. Penelitian dari KPPA dan BPS (2015) menyebut 70% PRT bekerja melebihi 35 jam/minggu, bahkan 11,6% menyatakan bekerja 16 jam/hari. Selain itu, menurut data Jala PRT, terdapat 600 aduan kekerasan dari majikan dan korban pelanggaran HAM dari PRT selama 2023.   

Pekerjaan mengurus rumah, perawatan, hingga kebersihan akan selalu ada dan dibutuhkan. Tetapi, PRT dianggap bukan kerja karena jenis pekerjaan domestik yang dianggap bisa dilakukan oleh siapapun walaupun nyatanya tidak. Waktu kerja seorang pekerja apalagi bila ia bekerja di luar rumah sering kali tidak cukup bila harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga. Artinya pekerjaan PRT inilah yang menopang kerja para pekerja lainnya karena sudah ada yang menggantikannya untuk mengurus pekerjaan tersebut.

Karena itulah, organisasi masyarakat sipil seperti Jala PRT mendorong pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang sudah mulai dibahas sejak 2004. Meski telah berulang kali masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) atau daftar RUU yang akan disahkan, RUU ini masih saja menjadi rancangan. Pengesahan aturan ini diharapkan menegaskan posisi PRT sebagai pekerja, sehingga melindungi dan memenuhi hak kesejahteraan PRT dan keluarganya.

 

2. Pekerja Rumahan

Pekerja rumahan adalah pekerja yang mengerjakan proses produksi atas perintah orang lain/pemberi kerja di dalam rumah tempat tinggalnya sendiri atau di tempat lain pilihanya (selain tempat si pemberi kerja), dengan peralatan kerja, bahan baku, dsb yang bisa saja dari pemberi kerja, pihak lain, bahkan dari pekerja sendiri (KILO 177).

Selain karena  pekerja rumahan tidak banyak yang mengetahui, pekerja rumahan tidak diakui oleh negara, tercermin dalam statistik tenaga kerja. Hubungan kerja pekerja rumahan juga sering tidak terikat kontrak. Pekerja rumahan lazim ditemui dalam industri manufaktur untuk menekan biaya produksi tenaga kerja. Sebab, beban risiko kerja akan dipindahkan tidak hanya ke pekerja itu sendiri, tetapi juga tempat kerjanya, yaitu rumah pekerja. 

Pekerja rumahan dihadapkan pada target kerja tinggi, jam kerja tak pasti, dan risiko kesehatan. Laporan penelitian Trade Union Rights Centre (TURC) memotret dengan jelas bagaimana kerentanan pekerja rumahan dalam industri garmen dan sepatu di Indonesia dan India. Mereka ini memproduksi untuk merk global seperti Adidas, Nike, Puma, dan lain sebagainya. Tetapi, perusahaan global tersebut tidak mengakui mereka sebagai pekerjanya karena mereka tidak terikat langsung, melainkan dengan perusahaan sub kontraktor.

 

3. Relawan

Menurut ILO, pekerja relawan adalah siapapun dengan usia kerja, selama periode singkat, melakukan kerja tidak berbayar tanpa ikatan hukum untuk memproduksi barang atau menyediakan jasa untuk orang lain. Lebih lengkapnyastandar perburuhan internasional memberi batasan sebagai berikut:

  1. Bekerja minimal satu jam.
  2. Tidak berbayar artinya tidak ada gaji atau upah atas hasil kerjanya. Meski begitu, pekerja relawan dapat menerima dukungan finansial yang relatif kecil, untuk transportasi, akomodasi, dan lainnya. 
  3. Tanpa ikatan hukum artinya kerja yang dilakukan tidak memerlukan persyaratan administratif dan hukum tanpa paksaan.
  4. Orang lain merujuk pada organisasi, institusi formal dan informal, komunitas sosial, dan individu. 

Di Indonesia, saat ini belum ada aturan mengenai relawan. Salah satui rujukannya adalah relawan sosial yang diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 29 Tahun 2017. Di sana tertulis, relawan adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan berdasarkan kesukarelaan. Apabila relawan bekerja di kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial maka ia disebut relawan sosial, dan harus tercatat dan terdaftar di Kemensos serta wajib lulus sertifikasi. 

Meskipun kerja relawan adalah pekerjaan sukarela, tetapi sebagian pekerjaan relawan justru mirip seperti pekerja upahan. Beberapa lowongan pekerjaan bahkan menyebutkan kata volunteer atau relawan dalam pengumumannya. Pekerjaan seperti ini potensial untuk mengaburkan batas antara kerja upahan dan kerja relawan. Untuk membedakannya, penjelasan dari Ombudsman Australia dapat membantu mengenali kerja upahan yang dibungkus dengan kerja relawan:

Pertama, apabila pekerjaannya adalah kerja produktif, yang lebih dari kesempatan belajar, pelatihan, atau peningkatan kemampuan, maka ia harusnya adalah hubungan kerja yang terikat kontrak;

Kedua, semakin lama durasi kerjanya, semakin besar peluang kalau itu adalah hubungan kerja;

Ketiga, apakah pekerjaan tersebut biasanya dikerjakan oleh pekerja upahan? Apakah organisasi tersebut butuh seseorang untuk mengerjakan pekerjaannya? Semakin besar dampak pekerjaan tersebut terhadap jalannya bisnis atau organisasi, semakin jelas itu seharusnya hubungan kerja;

Keempat, apabila perusahaan atau organisasi memperoleh keuntungan yang signifikan dari pekerjaan tersebut, maka hal itu dapat disebut hubungan kerja.

Karena tidak jelasnya batas inilah, pekerja relawan acapkali disalahgunakan untuk menjadi pekerja upahan, yang sebetulnya membutuhkan hubungan kerja formal beserta hak dan perlindungan kesejahteraannya. 

 

4. Pekerja Magang

Magang umumnya dilakukan oleh mahasiswa atau siswa sebagai salah satu syarat dalam kelulusan. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur yang lebih berpengalaman dalam prosed produksi barang dan jasa di perusahaan dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. 

Meski magang mendatangkan sejumlah manfaat bagi mahasiswa, pekerja magang seringkali dilihat sebagai peserta didik saja, bukan pekerja. Padahal berdasarkan definisi dari Pasal 1 angka 11 UU Nomor 13 Tahun 2003, peserta magang adalah pekerja. Bahkan, pekerja magang juga berhak atas fasilitas K3, uang saku, dan jaminan sosial sesuai Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri.

Dalam kenyataannya, pekerja magang mahasiswa bekerja dengan penuh waktu, tetapi banyak dari mereka tidak diberi upah. Studi dari Universitas Gadjah Mada menyebut, mayoritas pekerja magang bekerja 8 jam per hari. Sebanyak 53% bekerja di luar jam kerja untuk memenuhi target kerjanya. 

Dengan tidak jelasnya hubungan kerja ini, risiko dan ongkos produksi dipindahkan dari perusahaan ke pekerja magang, seperti menambah personil pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepada pekerja magang atau uang lembur yang seharusnya dibayarkan untuk pekerja di perusahaan tersebut.

 

5. Pekerja Gig atau Freelancer

Pekerja gig adalah pekerja yang bekerja berdasarkan proyek tertentu dalam waktu singkat, temporer, atau satu kali proyek putus tanpa hubungan kerja atau terikat perjanjian kerja dengan pemberi kerjanya. Pekerja gig biasanya terhubung dengan suatu perusahaan jasa aplikasi atau platform. Hubungan pekerja gig dan perusahaan platform dianggap setara dan karena itu disebut hubungan mitra. Karena sebutan inilah, mereka acapkali dianggap bukan pekerja, tetapi mitra. 

Selain itu, fleksibilitas pengaturan jam kerja pekerja gig atau freelancer membuat mereka dianggap seorang bos untuk perusahaannya sendiri. Di tengahnya kosongnya aturan hubungan kemitraan, pekerja gig mendapatkan kondisi kerja yang buruk. Penyebutan mitra juga membuat hak-hak ketenagakerjaan seperti upah minimum, jaminan sosial, uang lembur, dan lainnya tak wajib dipenuhi. 

Dengan masalah upah yang adil untuk pekerja gig, tim Gajimu/WageIndicator meluncurkan alat Cek Tarif Layak. Cek Tarif Layak adalah alat yang dirancang khusus bagi pekerja gig untuk menghitung upah atau tarif mereka sehingga mendapatkan pedoman tarif upah sesuai kebutuhan hidup mereka. 



Baca juga:

Penjelasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Apa itu Pekerja Rumahan?

Aturan Magang di Indonesia

Apa itu Pekerja Gig?

Apa itu Cek Tarif Layak?

 

Sumber: 

Perempuan Pekerja Garmen dan Sepatu di Indonesia dan India

ILO - 21st International Conference of Labour Statisticians

FairWork Ombudsman Australia - Kerja Tak Berbayar

The Conversation - Survei: beban kerja mahasiswa magang setara pekerja penuh waktu, tapi mayoritas tak diupah

The Conversation  - Disebut “mitra” tapi tak ada payung hukumnya: pekerja ‘gig economy’ tidak terproteksi

 
Loading...