Bagaimana aturan cuti melahirkan menurut Undang-Undang?
Ketentuan cuti hamil/melahirkan diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebut pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (pasal 82). Aturan ini hanya menetapkan durasi minimal yang wajib diberikan bagi pekerja perempuan yang hamil dan melahirkan. Artinya perusahaan dapat memberikan waktu istirahat/cuti yang lebih lama dari ketentuan tersebut. Lebih lanjut, Pasal 84 UU Ketenagakerjaan menetapkan hak mendapat upah penuh bagi setiap pekerja perempuan yang menggunakan hak cuti hamil dan melahirkan.
Sejalan dengan UU Ketenagakerjaan, aturan yang baru disahkan yakni UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) menyebut selain hak cuti melahirkan minimal 3 (tiga) bulan pertama tersebut, dapat diberikan 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter (pasal 4 ayat (3) UU KIA). Dengan ketentuan, pembayaran upahnya adalah sebagai berikut: upah penuh 100% selama cuti melahirkan 4 (empat) bulan pertama, dan 75% untuk bulan kelima dan keenam (pasal 5 ayat (2) UU KIA).
Apakah UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai cuti melahirkan?
Tidak. Perlindungan maternitas dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan termasuk mengenai cuti hamil/melahirkan tidak diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan barunya oleh UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Maka sesuai ketentuan pasal 81 UU 11/2020, segala perlindungan maternitas dalam UU No.13 Tahun 2003 masih berlaku. Namun demikian untuk kepastian hukum penting bagi pengusaha dan pekerja/serikat pekerja untuk memasukan klausul perlindungan maternitas ke dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.
Kapan sebaiknya pekerja perempuan mengambil cuti melahirkan?
Menurut UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, pekerja hamil yang bekerja berhak mengambil cuti hamil selama 1,5 bulan sebelum melahirkan, atau setara saat menginjak 36 minggu usia kehamilan.
Namun, waktu yang tepat untuk mulai mengambil cuti hamil pada setiap individu berbeda, tergantung pada kondisi kesehatan kehamilannya. Dokter bisa saja menyarankan pekerja hamil untuk mengajukan cuti hamil lebih cepat dengan mempertimbangkan kesehatan ibu dan janin dalam kandungan.
Bisakah durasi cuti melahirkan lebih dari tiga bulan?
Dalam penjelasan Pasal 82 ayat (1) UUK bahwa lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. Surat keterangan dokter kandungan atau bidan ini yang akan jadi penentu berapa lama pekerja dapat mengambil cuti. Apabila kemudian karena alasan kesehatan, dokter kandungan menganggap pekerja perlu waktu istirahat (cuti) lebih dari 3 bulan sebelum atau setelah melahirkan, maka pekerja dapat mengajukan cuti sesuai waktu yang direkomendasikan dokter kandungan atau bidan.
Dalam hal ini, pengajuan cuti yang lebih panjang dapat mengacu kepada UU KIA, yang memberi hak cuti bagi ibu yang bekerja hingga paling lama 6 (enam) bulan karena kondisi khusus. Kondisi yang dimaksud seperti ibu dan/atau anak mengalami masalah/gangguan kesehatan atau komplikasi pasca persalinan.
Serangkaian aturan Nasional ini selaras degan Konvensi Internasional ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas. Meski belum diratifikasi oleh Negara Indonesia, Konvensi ini menjadi rujukan aturan yang mencakup 4 perlindungan utama kehamilan:
- Jangkauan Perlindungan: baik bagi buruh perempuan hamil yang menikah dan tidak menikah, berstatus kerja tetap (PKWTT) maupun kontrak (PKWT).
- Jumlah waktu cuti melahirkan yakni tidak kurang dari 14 minggu (didalamnya termasuk cuti wajib 6 minggu setelah kelahiran anak, selama itu pekerja perempuan tidak diijinkan untuk bekerja). Termasuk cuti tambahan jika mengalami sakit, komplikasi atau resiko dari komplikasi tersebut yang membahayakan kehamilan. Dan istirahat untuk menyusui.
- Adanya tunjangan finansial dan medis selama kehamilan hingga kelahiran.
- Jaminan tidak akan kehilangan pekerjaan bagi pekerja perempuan yang mengambil hak cuti hamil/melahirkan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi lainnya.
Bagaimana prosedur cara pengajuan cuti melahirkan?
Seorang pekerja perempuan berhak atas cuti hamil/melahirkan dan manfaat bersalin. Pekerja perempuan yang akan mengambil cuti hamil/melahirkan harus memberitahukan kepada atasannya maupun HRD/personalia tempatnya bekerja. Hal ini penting karena 3 bulan bukanlah waktu yang singkat maka diperlukan koordinasi agar pekerjaan tetap lancar meskipun ada pekerja yang sedang melaksanakan cuti hamil/melahirkan. Maka pemberitahuan tersebut harus disampaikan dalam kurun waktu yang layak untuk melakukan koordinasi seperti tersebut di atas.
Dalam hal kelahiran terjadi secara mendadak/tidak sesuai Hari Perkiraan Lahir (HPL), pekerja perempuan yang bersangkutan ataupun anggota keluarganya harus memberikan pemberitahuan kepada atasan pekerja maupun HRD/personalia tempatnya bekerja. Yang harus diingat bahwa seluruh proses pengajuan cuti hamil/melahirkan tidak boleh dipersulit dan menghalangi pekerja perempuan untuk mendapatkan hak cuti hamil/melahirkannya.
Bahkan, pasal 5 ayat (3) UU KIA memberi jaminan, dalam hal ibu diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, maka Pemerintah harus memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang.
Bagaimana bila kelahiran terjadi lebih awal sebelum mengurus cuti melahirkan?
Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, seharusnya tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti pra melahirkan. Anda seharusnya tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 bulan. Namun demikian pada implementasinya buruh perempuan seringkali kehilangan hak cuti pra melahirkan karena ketentuan Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membagi 3 bulan cuti melahirkan dengan 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.
Padahal pada praktiknya, pekerja perempuan yang sedang hamil mungkin tak selalu mudah menentukan kapan bisa mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan. Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya.
Pengajuan cuti yang lebih panjang dapat mengacu pada UU KIA yang memberi hak cuti bagi ibu yang bekerja hingga paling lama 6 (enam) bulan. Namun untuk kepastian hukumnya, mengenai waktu cuti melahirkan dan perpanjangannya ini sebaiknya diatur secara rinci di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan/atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang hamil mendapatkan jatah cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun di beberapa perusahaan diatur cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan, mengingat tidak mudah menghitung dan menentukan HPL (Hari Perkiraan Lahir). Faktanya banyak persalinan yang mendahului atau melewati HPL. Oleh karena itu biasanya perusahaan memberi kebebasan soal kapan cuti hamil akan diambil sepanjang totalnya 3 bulan.
Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya. Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti bersalin/melahirkan. Anda tetap berhak atas cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan.
Apakah seorang pekerja yang istrinya melahirkan mendapatkan hak cuti?
Ya, pekerja yang istrinya melahirkan atau pun mengalami keguguran berhak atas cuti ayah selama 2 hari dengan upah penuh dari perusahaan tempatnya bekerja (pasal 93 ayat (2) huruf c dan ayat (4) UU Ketenagakerjaan). Oleh UU KIA, waktu ini dapat diperpanjang yakni hingga paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai kesepakatan antara pekerja dengan pemnberi kerja (pasal 6 ayat (2) a UU KIA).
Sementara itu bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti ASN menyebut, ASN berhak memperoleh cuti ketika istri sedang melahirkan atau operasi caesar karena alasan penting dengan menyertakan lampiran surat keterangan rawat inap, surat keterangan dokter kandungan, dsb. Pengajuan cuti ayah ini bisa didapatkan paling lama 1 bulan. Cuti untuk mendampingi istri melahirkan ini tidak mengurangi jatah cuti tahunan ASN dan selama cuti ini ASN berhak atas upah penuh.
Mengenai cuti untuk keperluan anak ini, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), melalui Konvensi ILO Nomor 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, mendorong Negara anggota untuk melindungi perlakuan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan, dengan tanggung jawab keluarga, untuk menggunakan hak mereka melakukan tanggung jawab tersebut tanpa didiskriminasikan dan, sejauh memungkinkan dilindungi, tanpa ada konflik antara pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Sayangnya Konvensi ini belum diratifikasi oleh Negara Indonesia
Apakah pekerja freelancer atau pekerja informal berhak mendapatkan cuti melahirkan?
Pekerja di sektor informal maupun pekerja dengan status freelancer, selama terikat hubungan kerja dengan pengusaha atau orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan (mengacu pada definisi pengusaha dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) mempunya hak atas cuti hamil dan melahirkan. Hubungan kerja ini didasari pada perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian sejumlah aturan dalam UU Ketenagakerjaan berlaku bagi mereka. Demikian juga UU KIA yang mengatur kesehatan ibu dan anak baik bagi ibu bekerja maupun tidak, baik bagi ibu bekerja di sektor formal maupun informal.
Baca juga:
Upah Saat Hamil dan Biaya Persalinan
Kerja Malam bagi Pekerja Perempuan
Sumber:
Indonesia. UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Indonesia. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Indonesia. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Indonesia. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Indonesia. UU No. 4 tahun 2024 tentang Kesehatan Ibu dan Anak pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan
Indonesia. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Aparatur Sipil Negara
Internasional. Konvensi ILO No. 155 tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Internasional. Konvensi ILO Nomor 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga
Internasional. Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas
Internasional. Rekomendasi 191 tahun 2000 tentang Rekomendasi Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas
terakhir diperbarui: 7 November 2024