Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Seksual berdasarkan UU TPKS?
Kekerasan seksual adalah perbuatan kekerasan seksual yang dimaksud dalam Undang-undang ini, yakni terdapat 9 jenis kekerasan seksual, juga terdapat 10 tindak pidana lain yang telah dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Apa saja yang termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual?
UU TPKS mengkualifikasi jenis tindak pidana seksual menjadi 9 yakni:
- Pelecehan seksual nonfisik
- Pelecehan seksual fisik
- Pemaksaan kontrasepsi
- Pemaksaan sterilisasi
- Pemaksaan perkawinan
- Penyiksaan seksual
- Eksploitasi seksual
- Perbudakan seksual, dan
- Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain kesembilan jenis kekerasan seksual tersebut, terdapat 10 bentuk kekerasan seksual yang dikategorikan tindak pidana kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan lain, meliputi:
- Perkosaan
- Perbuatan cabul
- Persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak
- Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban
- Pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual
- Pemaksaan pelacuran
- Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual
- Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga
- Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan
- Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apa tujuan dari pengesahan UU TPKS?
UU TPKS merupakan upaya pembaruan hukum untuk mencegah, menangani segala bentuk kekerasan seksual, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan seksual. Pembaruan hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut:
- Mencegah segala bentuk kekerasan seksual
- Menangani, melindungi, dan memulihkan korban
- Melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku
- Mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan
- Menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Apa saja hal baru yang diatur dalam UU TPKS?
Beberapa terobosan dalam UU TPKS, antara lain adalah:
- Pengualifikasian 9 jenis tindak pidana seksual dan 10 tindak pidana lain yang telah dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
- Terdapat pengaturan hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi
- Hak Korban atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban. Diantaranya kewajiban pelaku membayar restitusi sebagai ganti kerugian bagi korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, maka Negara akan memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan; dan
- Penegasan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.
Apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual nonfisik?
Pelecehan Seksual secara Nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang. Pelaku pelecehan seksual non fisik dapat dikenakan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000 (pasal 5).
Termasuk di dalam tindakan pelecehan seksual non fisik tindakan seperti komentar, menggoda, candaan, kerlingan, siulan, gestur tubuh, ataupun menanyakan hal-hal bersifat seksual yang tidak diinginkan atau membuat korban tidak nyaman.
Apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual fisik?
Pelecehan seksual fisik adalah perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Pelaku pelecehan seksual fisik dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000 (pasal 6 huruf a).
Bila pelecehan seksual fisik dilakukan dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000 (pasal 6 huruf b).
Dan bila pelecehan seksual fisik dilakukan dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa (karisma, pamor, pengaruh) yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain. Pidana yang dikenakan adalah pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000 (pasal 6 huruf c).
Apa yang dimaksud dengan pemaksaan kontrasepsi?
Perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat seseorang kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu disebut dengan pemaksaan kontrasepsi. Pemaksaan kontrasepsi dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000 (pasal 8).
Apa yang dimaksud dengan pemaksaan sterilisasi?
Pemaksaan sterilisasi adalah perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap. Perbedaan unsur tindak pidana pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi adalah pada beratnya dampak kehilangan fungsi reproduksi. Tindak pidana pemaksaan sterilisasi diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000 (Pasal 9).
Apa yang dimaksud dengan pemaksaan perkawinan?
Pemaksaan perkawinan adalah perbuatan secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain. Termasuk pemaksaan perkawinan yaitu:
- Perkawinan anak
- Pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, atau
- Pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Pemaksaan perkawinan diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000 (pasal 10).
Apa yang dimaksud dengan penyiksaan seksual?
Penyiksaan seksual adalah perbuatan setiap pejabat atau orang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang dengan tujuan:
- Intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau pihak ketiga
- Persekusi atau memberikan hukuman terhadap perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya, dan/atau
- Mempermalukan atau merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/atau seksual dalam segala bentuknya
Termasuk didalamnya tindakan penyiksaan seksual yang dilakukan saat interogasi di Kepolisian, saat korban ditahan di rutan atau lapas, panti sosial, tempat penampungan tenaga kerja, dan tempat-tempat serupa penahanan lainnya. Pelaku penyiksaan seksual diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000 (pasal 11).
Apa yang dimaksud dengan eksploitasi seksual?
Eksploitasi seksual adalah kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa (karisma, pamor, pengaruh) yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain. Eksploitasi seksual diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (pasal 12).
Apa yang dimaksud dengan perbudakan seksual?
Perbudakan seksual adalah perbuatan melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual, dipidana karena perbudakan seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.
Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual berbasis elektronik?
Kekerasan seksual berbasis elektronik adalah perbuatan yang tanpa hak:
a. Melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar.
b. Mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual.
Catatan: dalam hal korban adalah anak atau penyandang disabilitas, meski ada kehendak atau persetujuan (sebagaimana dimaksud dalam bagian a dan b) tidak dapat menghapus pidana.
c.Melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual.
Pelaku kekerasan seksual berbasis elektronik dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000 (pasal 14 ayat (1)
a. Dalam hal kekerasan seksual berbasis elektronik seperti diatas dilakukan dengan maksud
b. Untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa, atau
Menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu,
Ancaman pidana bagi pelaku menjadi lebih berat yakni pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.300.000.000 (pasal 14 ayat (2).
Bagaimana bila pelaku kekerasan seksual di tempat kerja adalah atasan korban?
Bila pelaku kekerasan seksual adalah pemilik perusahaan, jajaran pengurus perusahaan, atau jabatan yang dalam struktur perusahaan adalah atasan korban, pasal 15 UU TPKS memperberat ancaman pidana penjara dan denda seperti tersebut di atas ditambah sepertiga. Contohnya bila seorang pekerja perempuan jabatan operator mengalami pelecehan seksual non fisik yang dilakukan oleh seorang personalia pabrik, maka ancaman pidana yang dikenakan kepada personalia tersebut adalah pidana penjara paling lama 9 bulan ditambah sepertiga (dari 9 bulan) menjadi 12 bulan penjara.
Ketentuan pemberatan pidana sepertiga ini berlaku pula dalam hal:
- Dilakukan dalam lingkup keluarga
- Dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk melakukan Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan
- Dilakukan oleh pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga
- Dilakukan oleh pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya
- Dilakukan lebih dari 1 kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 orang
- Dilakukan oleh 2 orang atau lebih dengan bersekutu
- Dilakukan terhadap Anak
- Dilakukan terhadap penyandang disabilitas
- Dilakukan terhadap perempuan hamil
- Dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
- Dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana, atau perang
- Dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
- Mengakibatkan korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular
- Mengakibatkan terhentinya dan/atau rusaknya fungsi reproduksi; dan/atau
- Mengakibatkan Korban meninggal dunia
Bagaimana jika saya tidak berani melaporkan kekerasan seksual yang saya alami?
UU TPKS dihadirkan sebagai payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual. Untuk mendapatkan penanganan, perlindungan, serta pemulihan tentu saja kekerasan seksual yang terjadi harus diungkap dan dilaporkan. Apalagi ada sejumlah jenis tindak pidana yang merupakan delik aduan (atau penuntutan terhadap tindak pidana tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan atau korban) antara lain pada pelecehan seksual nonfisik, sebagian pelecehan seksual fisik (pasal 6 huruf a), dan kekerasan seksual berbasis elektronik kecuali korban adalah Anak atau Penyandang Disabilitas.
Bagaimana mekanisme/cara pelaporan tindakan kekerasan seksual yang saya alami?
Untuk mendorong korban berani bicara dan melapor, UU TPKS mengatur mekanisme:
1. Pelaporan yang memudahkan korban, saksi, maupun masyarakat yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan terjadinya kekerasan seksual baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana, yakni melalui:
a. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat UPTD PPA adalah unit pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yang berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lainnya. UPTD PPA ada di setiap Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
b. Unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial
c. Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat (antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum, Women Crisis Centre, dsb yang menyediakan layanan pendampingan korban), dan/atau
d. Kepolisian
2. Pelindungan sementara bagi korban dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam terhitung sejak Kepolisian menerima laporan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pelindungan sementara, meliputi:
a. Pelindungan Kepolisian untuk waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak korban ditangani. Untuk penyelenggaraan pelindungan sementara Kepolisian dapat berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
b. Membatasi gerak pelaku dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan.
c. Penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
3. Pendampingan korban dan saksi pada tahap pelaporan hingga semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
4. Perlindungan hak korban, saksi, dan keluarga korban.
Apa saja hak saya sebagai korban?
UU TPKS melindungi bukan saja hak korban, tetapi juga hak saksi, dan keluarga korban. Khususnya bagi korban yang adalah pekerja, secara khusus UU TPKS memberi pelindungan dari kehilangan pekerjaan/PHK atau mutasi pekerjaan.
Pelindungan yang diberikan adalah sebagai berikut:
1. Hak atas Penanganan, meliputi:
a. Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan
b. Hak mendapatkan dokumen hasil Penanganan
c. Hak atas layanan hukum
d. Hak atas penguatan psikologis
e. Hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis
f. Hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban,
g. Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
2. Hak atas Pelindungan, meliputi
a. Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan
b. Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan
c. Pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan
d. Pelindungan atas kerahasiaan identitas
e. Pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban
f. Pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik
g. Pelindungan Korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan.
3. Hak atas Pemulihan meliputi pemulihan sebelum dan selama proses peradilan, serta pemulihan setelah proses peradilan, terdiri dari:
a. Rehabilitasi medis
b. Rehabilitasi mental dan sosial
c. Pemberdayaan sosial
d. Restitusi dan/atau kompensasi
e. Reintegrasi sosial
4. Hak Keluarga Korban, meliputi:
a. Hak atas informasi tentang Hak Korban, hak Keluarga Korban, dan proses peradilan pidana sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana
b. Hak atas kerahasiaan identitas
c. Hak atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan
d. Hak untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata atas laporan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
e. Hak asuh terhadap Anak yang menjadi Korban, kecuali haknya dicabut melalui putusan pengadilan
f. Hak mendapatkan penguatan psikologis
g. Hak atas pemberdayaan ekonomi
h. Hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh Keluarga Korban
i, Selain hak tersebut di atas, anak atau anggota keluarga lain yang bergantung penghidupannya kepada korban berhak atas: fasilitas Pendidikan, layanan dan jaminan kesehatan, dan jaminan sosial.
Apa yang dimaksud dengan Pelayanan Terpadu korban kekerasan seksual?
Pelayanan Terpadu adalah penyelenggaraan layanan: Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan yang terintegrasi, multi aspek, lintas fungsi dan sektor bagi korban, keluarga korban, dan/atau saksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Penyelenggaraan pelayanan Terpadu dikoordinasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan berbagai pihak. Untuk mengakses layanan terpadu korban/keluarga korban/pendamping korban dapat menghubungi UPTD PPA yang ada di setiap Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Apakah benar UU TPKS mengatur sendiri hukum acara dalam persidangan kasus-kasus kekerasan seksual?
Ya benar. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilaksanakan berdasarkan hukum acara pidana yang sudah diatur sebelumnya serta hukum acara yang diberlakukan secara khusus dalam UU TPKS, antara lain:
- Penyidik (polisi), penuntut umum (jaksa), dan hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus memenuhi persyaratan memiliki integritas dan kompetensi tentang Penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan Korban dan telah mengikuti pelatihan terkait Penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau berpengalaman dalam menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
- Penyidik, penuntut umum, dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap Saksi/Korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi (proses seseorang menjadi korban) atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
- Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak.
- Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana, alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
- Keterangan Saksi dan/atau Korban Penyandang Disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan Saksi dan/atau Korban yang bukan Penyandang Disabilitas, maka aparat penegak hukum harus menyediakan akomodasi yang layak untuk Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan.
- Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Bagaimana peran pemerintah dalam pencegahan dan penanganan korban?
Menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2024,aturan turunan dari UU TPKS tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban, pemerintah memiliki peran dalam efektivitas pencegahan dan penanganan korban. Di tingkatan pusat, menteri melakukan koordinasi dan pemantauan lintas sektor kementerian/lembaga terkait. Di tingkat daerah, gubernur/wali kota melakukan koordinasi dan pemantauan pencegahan dan penanganan korban di daerah.
Koordinasi pencegahan dan penanganan korban dilakukan melalui:
- Perencanaan (sinkronisasi rencana kegiatan antar kementerian/lembaga)
- Pelayanan (konsolidasi pelayanan sesuai rencana kerja)
- Evaluasi (analisa kesesuaian antara rencana kerja dan penanganan korban, serta penyusunan rekomendasi)
- Laporan (hasil evaluasi)
Adapun pelaksanaan pemantauan pencegahan dan penanganan korban dilakukan melalui:
- Pengamatan (memahami dan observasi pelaksanaan pencegahan dan penanganan korban)
- Pengidentifikasian (penyusunan data dan informasi hasil pengamatan)
- Pencatatan (mengkompilasi dan mendokumentasikan hasil pengidentifikasian)
Apa saja yang dapat dilakukan perusahaan, organisasi pengusaha, pekerja, Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk menerapkan UU TPKS?
UU TPKS mewajibkan seluruh lapisan masyarakat berpartisipasi dalam Pencegahan, pendampingan, Pemulihan, dan pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Partisipasi Masyarakat dalam Pencegahan antara lain, dengan:
- Membudayakan literasi (pengetahuan) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada semua lapisan usia Masyarakat untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan tidak menjadi Korban atau pelaku.
- Menyosialisasikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan
- Menciptakan kondisi lingkungan yang dapat mencegah terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Partisipasi Masyarakat dalam Pemulihan Korban antara lain dilakukan dengan:
- Memberikan informasi adanya kejadian Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada aparat penegak hukum, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah
- Memantau penyelenggaraan Pencegahan dan pemulihan korban
- Memberikan dukungan untuk penyelenggaraan pemulihan korban
- Memberikan pertolongan darurat kepada korban
- Membantu pengajuan permohonan penetapan pelindungan, dan
- Berperan aktif dalam penyelenggaraan pemulihan korban.
Apa saja langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan partisipasi tersebut?
Sebagai langkah konkret pelaksanaan UU TPKS, Perusahaan, organisasi pengusaha, pekerja, Serikat Pekerja/Serikat Buruh dapat melakukan hal-hal berikut:
- Mengaktifkan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) di Tempat Kerja sebagaimana Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 1 tahun 2020 tentang RP3 di Tempat Kerja. RP3 adalah tempat, ruang, sarana, dan fasilitas yang disediakan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap pekerja perempuan di tempat kerja berupa upaya pencegahan kekerasan terhadap pekerja/buruh perempuan, penerimaan pengaduan dan tindak lanjut, dan pendampingan. RP3 diharapkan pula dapat memberikan pemahaman atau pendidikan mengenai pentingnya perlindungan bagi pekerja perempuan dari kekerasan seksual. (di link ke pelecehan seksual)
- Menerbitkan aturan penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja baik melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama (di link ke kekerasan berbasis gender di dunia kerja)
- Mendorong ratifikasi/pengesahan Konvensi ILO No. 190 tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Baca juga: