Kekerasan Berbasis Gender di Dunia Kerja

Kekerasan Berbasis Gender merujuk pada definisi kekerasan berbasis gender oleh Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi (United United Nations High Commissioner For Refugees/UNHCR) sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas jenis kelamin atau gendernya. Ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan. Kekerasan Berbasis Gender dapat terjadi pada siapapun dalam kehidupan sehari-hari, termasuk saat bekerja, terkait dengan atau timbul dari pekerjaan. Berikut pembahasan Kekerasan Berbasis Gender di Dunia Kerja.

  1. Apa yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender?
  2. Mengapa istilah gender selalu dilekatkan pada perempuan?
  3. Apa yang dimaksud dengan ketidakadilan gender? 
  4. Apakah ada dasar hukum yang melindungi pekerja dari Kekerasan Berbasis Gender?
  5. Apa saja cakupan Dunia Kerja yang diatur dalam Konvensi ILO 190?
  6. Apa latar belakang yang mendasari penyusunan KILO 190?
  7. Aturan penghapusan Kekerasan Berbasis Gender seperti apa yang dapat disepakati di tempat kerja baik melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama?

 

APA YANG DIMAKSUD DENGAN KEKERASAN BERBASIS GENDER?

Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja (KILO 190) memberi pengertian istilah “kekerasan dan pelecehan berbasis gender” sebagai: kekerasan dan pelecehan yang ditujukan pada orang-orang karena jenis kelamin atau gender mereka, atau mempengaruhi orang-orang dari jenis kelamin atau gender tertentu secara tidak proporsional, dan termasuk pelecehan seksual (pasal 1 angka 1 (b) KILO 190).  

Ada beberapa bentuk kekerasan berbasis gender, antara lain (1) seksual, (2) fisik, (3) emosional dan psikologis, (4) sosial dan ekonomi (pasal 1 angka 1 (a) KILO 190) dan (5) praktek tradisional yang membahayakan (diperkenalkan oleh Panitia Kerja Antar Agensi (Inter-Agency Standing Committee) untuk Penanganan Masalah Gender dan Kemanusiaan). Dalam penjelasan dikatakan bahwa praktik ini menyangkut praktik seperti sunat perempuan (female genital mutilation), perkawinan paksa (forced or arranged marriage) dan perkawinan di usia dini (early marriage).

 

MENGAPA ISTILAH GENDER SELALU DILEKATKAN PADA PEREMPUAN?

Gender kerap dilekatkan kepada perempuan karena faktanya Kekerasan Berbasis Gender lebih banyak terjadi kepada perempuan dan anak-anak perempuan daripada laki-laki dan anak laki-laki. Hal ini terjadi karena dipercaya akar masalah dari ketidakadilan gender adalah penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) akibat adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dari konstruksi gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Namun penting untuk diingat bahwa laki-laki dan anak-anak laki-laki juga bisa menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender, termasuk kekerasan seksual.

 

APA YANG DIMAKSUD DENGAN KETIDAKADILAN GENDER? 

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan gender dan contohnya dalam dunia kerja, yakni:

  1. Marginalisasi:Peminggiran karena jenis kelamin. Misalnya perempuan dianggap tidak memiliki kapasitas untuk menduduki jabatan pimpinan sebagian budaya maupun sebagian tafsir keagamaan memberi tempat yang berbeda atas peran perempuan sebagai pemimpin keagamaan atau pemimpin keluarga dan masyarakat.
  2. SubordinasiLaki-laki diposisikan atau dianggap lebih penting sebaliknya perempuan diposisikan atau dianggap lebih rendah. Misalnya pekerja laki-laki diprioritaskan untuk mendapatkan pelatihan kerja di perusahaan, atau diskriminasi jabatan maupun upah yang setara bagi perempuan dan laki-laki pada pekerjaan yang sama nilainya.
  3. Stereotype/Pelabelan Atau penandaan terhadap perempuan yang menimbulkan kerugian dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya karena masyarakat selalu memiliki anggapan bahwa perempuan lemah dan hanya dapat melakukan pekerjaan rumah tangga maka perempuan dilarang untuk bekerja di luar rumah.
  4. Kekerasan (violence)Perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, penderitaan, trauma, bahkan kematian. Meliputi kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual. Misalnya kekerasan seksual di tempat kerja.
  5. Beban Ganda

    Yakni adanya pembagian peran kerja tanpa disertai dengan pembagian peran yang adil. Misalnya pekerja perempuan yang bekerja di pabrik, ketika sampai di rumah ia masih harus bertanggung jawab atas semua pekerjaan domestik: kebersihan rumah hingga mengasuh anak, tanpa adanya kontribusi yang setara dari suaminya.

 

APAKAH ADA DASAR HUKUM YANG MELINDUNGI PEKERJA DARI KEKERASAN BERBASIS GENDER?

Ada sejumlah hukum nasional maupun standar hukum internasional yang melindungi pekerja dari kekerasan berbasis gender, antara lain: 

  1. Undang-undang No. 80 Tahun 1957 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 tentang Pengupahan yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya.
  2. Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), pasal 11 ayat (1) menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (upah, tunjangan, K3, dsb.)
  3. Undang-undang No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan, menyebut istilah "pekerjaan" dan "jabatan" dalam konvensi ini meliputi juga kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan, memperoleh pekerjaan dan jabatan tertentu, dan syarat-syarat serta kondisi kerja yang sama untuk buruh perempuan dan laki-laki.
  4. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada pasal 5 dan 6 yang menyebut kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan perlakuan yang sama.
  5. Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada pasal 15 menegaskan kewajiban mencegah, memberi perlindungan dan pertolongan kepada korban KDRT menjadi kewajiban setiap orang termasuk perusahaan.
  6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5 tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja (disahkan tanggal 27 April 2018) yang memasukan faktor kesehatan psikologis dan mental pekerja sebagai bagian K3.
  7. Konvensi ILO No. 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga mengatur pekerja dengan tanggung jawab keluarga memiliki hak untuk memilih pekerjaan, jaminan sosial, fasilitas pendukung kerja seperti tempat penitipan anak, tambahan keterampilan, cuti karena tanggung jawab tersebut, dan larangan pemutusan hubungan kerja karena cuti tersebut. Konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, serta
  8. Konvensi ILO No. 190 tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang memuat norma dan standar dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan khususnya kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Konvensi ini dilengkapi dengan Rekomendasi 206 yang memuat tentang prinsip, cakupan dan langkah pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Konvensi KILO 190 juga belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

 

APA SAJA CAKUPAN DUNIA KERJA YANG DIATUR DALAM KONVENSI ILO 190?

KILO 190 yang disahkan dalam sidang organisasi perburuhan internasional /ILO pada tanggal 10 Juni 2019 menyebut dunia kerja karena luasnya cakupan ruang lingkup perlindungan konvensi ini yakni berlaku bagi pekerja di semua sektor pekerjaan, baik swasta maupun publik, baik formal maupun informal, di daerah perkotaan maupun perdesaan. Konvensi ini menekankan perlindungan bagi pekerja terlepas dari status kontrak, orang dalam pelatihan, termasuk pekerja magang, pekerja yang pekerjaannya telah diberhentikan, relawan, pencari kerja dan pelamar kerja, serta individu yang menjalankan wewenang, tugas, atau tanggung jawab sebagai pemberi lapangan kerja (pasal 2 KILO 190). 

Selain itu, pasal 3 KILO 190 menyebut lokus/tempat terjadinya kekerasan dan pelecehan yang dimaksud bukan hanya di tempat kerja termasuk juga yang terjadi dalam perjalanan ke tempat kerja, terkait dengan atau timbul dari pekerjaan, sebagai berikut:

  1. Di tempat kerja, termasuk ruang publik dan pribadi yang menjadi bagian dari tempat kerja
  2. Di tempat-tempat di mana pekerja dibayar, beristirahat atau makan, atau menggunakan fasilitas sanitasi, mencuci dan berganti pakaian
  3. Selama perjalanan, pelatihan, acara atau kegiatan sosial yang terkait dengan pekerjaan
  4. Melalui komunikasi terkait pekerjaan, termasuk yang dimungkinkan oleh teknologi informasi dan komunikasi
  5. Di akomodasi yang disediakan perusahaan, dan 
  6. Saat bepergian ke dan dari tempat kerja.

 

LATAR BELAKANG YANG MENDASARI PENYUSUNAN KILO 190?

Dalam konsiderans atau pokok-pokok pikiran penyusunannya, disebutkan bahwa KILO 190 disusun dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

  1. Hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
  2. Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, khususnya terhadap perempuan (adanya faktor-faktor seperti stereotip gender, berbagai bentuk diskriminasi serta relasi kuasa berbasis gender yang tidak setara) adalah ancaman terhadap kesempatan yang setara, tidak dapat diterima dan tidak sesuai dengan pekerjaan yang layak
  3. Pentingnya budaya kerja yang berbasis saling menghormati dan menjunjung martabat manusia untuk mencegah kekerasan dan pelecehan. 
  4. Negara dan semua aktor di dunia kerja memiliki tanggung jawab penting untuk mendorong lingkungan tanpa toleransi terhadap kekerasan dan pelecehan dengan melakukan upaya pencegahan dan penangan. 
  5. Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja mempengaruhi kesehatan psikologis, fisik dan seksual seseorang, martabat, dan keluarga serta lingkungan sosial, dan mempengaruhi kualitas layanan publik dan swasta, promosi perusahaan yang berkelanjutan dan berdampak negatif pada organisasi kerja, hubungan kerja, keterlibatan pekerja, reputasi perusahaan, dan produktivitas.
  6. Memperhatikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat mempengaruhi lapangan kerja, produktivitas, kesehatan dan keselamatan, dan bahwa pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja, dapat membantu untuk mengenali, merespons dan mengatasi dampak kekerasan dalam rumah tangga.

 

ATURAN PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER SEPERTI APA YANG DAPAT DISEPAKATI DI TEMPAT KERJA BAIK MELALUI PERJANJIAN KERJA, PERATURAN PERUSAHAAN, ATAUPUN PERJANJIAN KERJA BERSAMA?

Aturan yang dapat disepakati di tempat kerja untuk mengimplementasikan KILO 190, antara lain:

  1. Memastikan akses yang mudah untuk mendapatkan penyelesaian yang tepat dan efektif serta pelaporan dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang aman, adil dan efektif dalam kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, seperti: 
    1. Prosedur pengaduan dan investigasi, serta, bila perlu, mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat tempat kerja.
    2. Perlindungan terhadap viktimisasi atau pembalasan terhadap pengadu, korban, saksi dan pelapor
    3. Langkah-langkah dukungan hukum, sosial, medis dan administrasi untuk pengadu dan korban
  2. Melindungi privasi dan kerahasiaan orang-orang yang terlibat.
  3. Memberikan sanksi yang memadai dalam kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dengan ketentuan bahwa para korban memiliki akses informasi terhadap mekanisme penyelesaian sengketa dan pengaduan, dukungan, layanan dan pemulihan yang responsif gender, aman dan efektif
  4. Mengakui dampak kekerasan dalam rumah tangga dan mengurangi dampaknya di dunia kerja sejauh yang dapat diupayakan secara wajar.
  5. Memastikan bahwa pekerja memiliki hak untuk keluar dari situasi kerja yang menurut mereka cukup beralasan dan diyakini menimbulkan bahaya serius bagi kehidupan, kesehatan atau keselamatannya akibat adanya kekerasan dan pelecehan, tanpa mendapatkan sanksi kerja yang tidak semestinya. 
  6. Memastikan adanya waktu istirahat atau cuti berbayar bagi korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang membutuhkan waktu untuk mengurus kasusnya, mengupayakan pemulihan, hingga siap bekerja kembali.

 

 

Sumber:

  1. Indonesia. Undang-undang No. 80 Tahun 1957 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 tentang Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya
  2. Indonesia. Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
  3. Indonesia. Undang-undang No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan
  4. Indonesia. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  5. Indonesia. Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
  6. Indonesia. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5 tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja
  7. Internasional. Konvensi ILO No. 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga
  8. Internasional. Konvensi ILO No. 190 tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja
  9. IASC GBV Guideline in Bahasa.pdf (interagencystandingcommittee.org)
 
Loading...