Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

 

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak. Namun, dalam Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Kluster Ketenagakerjaan) dinyatakan bahwa Pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK. 

Mari kita pelajari ketentuan-ketentuan lain mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003, UU Cipta Kerja No.11/2020 serta Peraturan Turunan UU Cipta Kerja No.11/2020, di bawah ini:

 

UU KETENAGAKERJAAN

NO. 13 TAHUN 2003

UU CIPTA KERJA

NO. 11 TAHUN 2020

PERATURAN TURUNAN

UU CIPTA KERJA NO. 11 TAHUN 2020

Pasal 151

  1. Pengusaha, pekerja/buruh , serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
  2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(Pasal 81 No. 37) perubahan pasal 151

  1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.
  2. Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/ serikat buruh.
  3. Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antar pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
  4. Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
 

Pasal 151 A (Ketentuan Baru)

 

(Pasal 81 No. 38) tambahan pasal 151 A

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 161 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal:

  1. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
  2. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu;
  3. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau
  4. pekerja/buruh meninggal dunia.
 

Pasal 152 Dihapus

 

(Pasal 81 No. 39) penghapusan pasal 152

 

 

Pasal 153

  1. Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
    1. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus - menerus;
    2. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    3. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    4. pekerja/buruh menikah;
    5. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
    6. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    7. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    8. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
    9. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisis fisik, atau status perkawinan;
    10. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
  2. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

(Pasal 81 No.40) perubahan pasal 153

  1. Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:
    1. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus - menerus;
    2. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    3. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    4. menikah;
    5. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
    6. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
    7. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    8. mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
    9. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisis fisik, atau status perkawinan; dan
    10. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
  2. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
 
Pasal 154 Dihapus (Pasal 81 No. 41) penghapusan pasal 154  

Pasal 154 A (Ketentuan Baru)

 

(Pasal 81 No. 42) tambahan pasal 154 A

  1. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
    1. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekeja/buruh;
    2. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
    3. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun ;
    4. perusahan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur);
    5. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
    6. perusahaan pailit;
    7. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
      1. menganiaya, menghina secara kasar atau
      2. mengancam pekerja/buruh;
      3. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
      4. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
      5. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
      6. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
      7. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
    8. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
    9. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
      1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
      2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
      3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
    10. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggul oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
    11. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    12. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
    13. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
    14. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
    15. pekerja/buruh meninggal dunia.

PP 35/2021, Pasal 37

  1. Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
  2. Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh yang bersangkutan merupakan anggota dari Serikat Pekerja I Serikat Buruh.
  3. Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada
    Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja.
  4. Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ayat 2

Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1)

PP 35/2021, Pasal 38

Dalam hal Pekerja/Buruh telah mendapatkan surat pemberitahuan dan tidak menolak Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha harus melaporkan Pemutusan Hubungan Kerja kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.

Ayat 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.

PP 35/2021, Pasal 39

  1. Pekerja/Buruh yang telah mendapatkan surat pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dan menyatakan menolak, harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan.
  2. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja harus dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.
  3. Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja tahap berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 155 Dihapus

 

(Pasal 81 No. 43) penghapusan pasal 155

 

Pasal 156

  1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang, pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
  2. Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
    1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
    2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah.
    3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah.
    4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah.
    5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah.
    6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah.
    7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
    8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah.
    9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(Pasal 81 No. 44) perubahan pasal 156

  1. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang, pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
  2. Uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan ketentuan berikut:
    1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
    2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah.
    3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah.
    4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah.
    5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah.
    6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah.
    7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
    8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah.
    9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Tabel Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang penggantian Hak ada di Artikel Alasan PHK dan Hak Akibat PHK

 

Pasal 156, Ayat 3

Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

  1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

Ayat 3

Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

Pasal 156, Ayat 4

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
  4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

 

Pasal 156, Ayat 5

Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Ayat 4

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

 

 

 

 

Ayat 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 10 PP 35/2021

PKWT yang dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) berupa pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah Pekerja/Buruh berdasarkan kehadiran.
PKWT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja harian.
Perjanjian Kerja harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan Pekerja/Buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.
Dalam hal Pekerja/Buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka Perjanjian Kerja harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tidak berlaku dan Hubungan Kerja antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh demi hukum berubah berdasarkan PKWTT

(Pasal 81 No. 45) perubahan pasal 157

  1. Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uan uang penghargaan masa kerja terdiri atas:
    1. upah pokok; dan
    2. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
  2. Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan upah sehari.
  3. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengn penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
  4. Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum, upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.
 

Pasal 157 A ( Ketentuan Baru)

 

(Pasal 81 No. 46) tambahan pasal 157 A

  1. Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
  2. Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
  3. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya
 

Pasal 158 dan Pasal 159 Dihapus

 

(Pasal 81 No. 47 dan No. 48) penghapusan pasal 158 dan 159

 

Pasal 160

  1. Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
    2. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
    3. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
    4. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
  2. Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.

(Pasal 81 No. 49) perubahan pasal 160

  1. Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
    1. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
    2. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
    3. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
    4. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
  2. Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
 

 

 

Pelajari lebih jauh:

 

 

Sumber:

Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Kluster Ketenagakerjaan).
Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
Indonesia. Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2021 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Loading...