Perlindungan Pekerja saat Hamil dan Melahirkan

Dipaksa mengundurkan diri saat hamil atau harus bekerja lembur? Apakah hal itu diperbolehkan menurut Undang-Undang? Pelajari lebih lanjut bagaimana undang-undang ketenagakerjaan melindungi pekerja yang hamil ataupun melahirkan!


Apa saja bentuk perlindungan bagi pekerja perempuan selama masa kehamilan?

Perlindungan bagi pekerja perempuan selama masa kehamilan:

  1. Istirahat 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan (Pasal 82 ayat (1) UU 13/2003). Dalam kondisi khusus, dapat diperpanjang hingga paling lama 3 bulan berikutnya. Kondisi khusus yang dimaksud seperti ibu dan/atau anak mengalami masalah/gangguan kesehatan, komplikasi pasca persalinan atau keguguran (pasal 4 ayat (3) a UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesehatan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan/UU KIA.
  2. Larangan Mempekerjakan Pekerja /Buruh Perempuan Hamil antara pukul 23.00 – 07.00 apabila membahayakan kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya (Pasal 76 ayat 2 UU 13/2003)
  3. Dukungan fasilitas, akomodasi yang layak, sarana, dan prasarana di tempat kerja bagi ibu bekerja termasuk dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja (pasal 30 UU KIA)
  4. Larangan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya (Pasal 153 ayat (1) huruf e UU 13/2003)

 

Apa contoh upaya pengusaha melindungi pekerja hamil di tempat kerja?

Antara lain tidak menempatkan perempuan pekerja yang sedang hamil pada pekerjaan berat dan beresiko/berbahaya misalnya di bagian yang menggunakan bahan kimia, dsb.

 

Apakah pekerja berhak menolak pekerjaan yang berbahaya bagi ibu hamil?

Ya. Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menegaskan: setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Upaya K3 dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Maka, pekerja perempuan yang sedang hamil dapat meminta untuk melakukan pekerjaan yang tidak berat dan berbahaya sebagai bentuk jaminan keselamatan untuk dirinya.

Perlindungan bagi kesehatan reproduksi sebagai bagian dari K3 ditegaskan oleh Konvensi ILO No. 155 tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Penjelasan Konvensi ini menyebut bagian-bagian kebijakan K3 yang efektif termasuk dengan melindungi pekerja penyandang disabilitas, pekerja perempuan khususnya terkait dengan syarat-syarat dan kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, dan kehamilan.

Lebih khusus, Konvensi ILO 183 tentang Perlindungan Maternitas (Maternity Protection) menegaskan perlindungan bagi buruh perempuan hamil dan janin yang dikandungnya dari kondisi kerja yang tidak aman (berbahaya) dan tidak sehat.

Melalui rekomendasi dari Konvensi ILO 183 yakni Rekomendasi 191 tahun 2000, nnegara harus mengambil tindakan untuk memastikan adanya penilaian atas segala reisiko di tempat kerja yang terkait dengan kesehatan dan keselamatan reproduksi buruh perempuan. Terhadap risiko-risiko tersebut perlu disediakan alternatif antara lain pindah ke bagian lain, tanpa kehilangan upah, secara khusus dalam hal:

  1. Pekerjaan sulit yang melibatkan upaya untuk mengangkat, membawa, mendorong, atau menarik beban secara manual.
  2. Pekerjaan yang terekspos bahan biologis, kimiawi, atau yang mengandung bahaya kesehatan reproduktif.
  3. Pekerjaan yang membutuhkan keseimbangan khusus.
  4. Pekerjaan yang melibatkan ketegangan fisik akibat duduk atau berdiri terlalu lama, atau akibat suhu atau getaran yang terlalu ekstrim.
  5. Perempuan hamil atau yang sedang dirawat tidak boleh diharuskan untuk kerja malam jika surat keterangan medis menyatakan bahwa pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan kehamilan atau perawatannya.

 

Adakah larangan hamil bagi pekerja perempuan?

Tidak. Bahkan Peraturan Perundang-undangan menegaskan sejumlah perlindungan hak maternitas bagi pekerja perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Lebih lanjut Pasal 153 ayat (1) huruf e dan ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan larangan bagi pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerja perempuan karena kehamilannya. PHK dengan alasan demikian batal demi hukum.

  1. Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
  2. Pemutusan hubungan kerja yang  dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. 

Lebih lanjut UU KIA memberi jaminan, dalam hal ibu yang hamil diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya karena kehamilannya, maka Pemerintah harus memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang (pasal 5 ayat (3) UU KIA).

Demikian pula UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mewajibkan Negara untuk melakukan semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang pekerjaan dalam rangka untuk memastikan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki terutama: hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam kondisi kerja, termasuk atas perlindungan reproduksi.

 

Bagaimana bila perjanjian kerja mengharuskan pekerja perempuan mengundurkan diri ketika hamil?

Perjanjian Kerja yang mencantumkan klausul pekerja perempuan harus mengundurkan diri ketika hamil merupakan perjanjian kerja yang bertentangan dengan hukum. Hal ini disebabkan adanya sejumlah perlindungan hak maternitas bagi pekerja perempuan dalam peraturan perundang-undangan. 

Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa pekerja untuk mengundurkan diri, karena pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan dari pekerja (pasal 154 huruf ( i) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu. perjanjian yang memuat klausula pekerja harus mengundurkan diri ketika hamil bertentangan dengan hukum dan batal demi hukum.

 

Bagaimana bila pekerja sudah menandatangani perjanjian kerja yang melarang perempuan untuk  hamil?

Perjanjian Kerja yang mencantumkan klausula yang mengatur pekerja perempuan tidak boleh hamil selama masa kerja tertentu merupakan perjanjian kerja yang bertentangan dengan hukum. Meskipun sudah diperjanjikan sebelumnya, perjanjian ini batal demi hukum karena bertentangan dengan hukum. Dan secara hukum perusahaan tidak dapat memutus hubungan kerja karyawan yang bersangkutan.



Baca juga:

Aturan Cuti Melahirkan

Upah saat Hamil

Cuti Keguguran

Hak Pekerja Perempuan



Sumber:

Indonesia. UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan 

Indonesia. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Indonesia. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Indonesia. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Indonesia. UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesehatan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kelahiran

Indonesia. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Aparatur Sipil Negara

Internasional. Konvensi ILO No. 155 tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Internasional. Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas 

Internasional. Rekomendasi 191 tahun 2000 tentang Rekomendasi Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas 



Terakhir diperbarui: 11 November 2024

 

 
Loading...