Bagaimana aturan cuti keguguran di Indonesia?
Mengenai cuti atau istirahat gugur kandungan, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 82 ayat (2) mengatur “Pekerja perempuan yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.” Aturan ini hanya menetapkan durasi minimal yang wajib diberikan bagi pekerja perempuan yang mengalami keguguran. Artinya perusahaan dapat memberikan waktu istirahat/cuti yang lebih lama dari ketentuan 1,5 bulan tersebut.
Lebih lanjut pelanggaran pada pemenuhan hak istirahat gugur kandungan pada pasal 185 ayat (1) dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Apa syarat memperpanjang cuti keguguran?
Pasal 82 ayat (2) UU No. 13 tahun 2003 menyebut pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Unsur pasal yang menyebut ‘atau’ memberi arti bahwa waktu cuti keguguran dapat diperpanjang dari ketentuan 1,5 bulan dengan persyaratan adanya surat keterangan dari dokter kandungan atau bidan.
Bagaimana prosedur mengambil cuti keguguran?
Keguguran kandungan tentu saja tidak dapat diprediksi, oleh karenanya bila anda ingin mengambil cuti keguguran, setelah memeriksakan diri kepada dokter atau bidan, anda harus menginformasikan kepada atasan serta kepada personalia atau HRD di perusahaan anda bekerja. Informasi harus disertakan dengan persyaratan surat keterangan dari dokter dan bidan tersebut.
Apakah pekerja yang istrinya keguguran mendapatkan hak cuti?
Ya. Cuti atau istirahat melahirkan atau keguguran kandungan dengan ketentuan tetap dibayar upah penuh juga diberikan kepada suami pekerja sebagaimana diatur dalam pasal 93 ayat (2) huruf c dan ayat (4) UU No. 13 tahun 2003, yang berbunyi:
“Pengusaha wajib membayar upah untuk selama 2 hari apabila: pekerja tidak masuk bekerja karena istri melahirkan atau keguguran kandungan.”
Mengenai cuti untuk keperluan anak ini, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), melalui Konvensi ILO Nomor 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, mendorong Negara anggota untuk melindungi perlakuan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan, dengan tanggung jawab keluarga, untuk menggunakan hak mereka melakukan tanggung jawab tersebut tanpa didiskriminasikan dan, sejauh memungkinkan dilindungi, tanpa ada konflik antara pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Sayangnya Konvensi ini belum diratifikasi oleh Negara Indonesia
Apakah pekerja tetap mendapatkan upah penuh saat menjalani cuti keguguran?
Ya, selama pekerja perempuan menjalani istirahat hamil, melahirkan, dan keguguran, ia berhak atas pembayaran upahnya secara penuh. Hak ini dilindungi oleh pasal 84 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebut “Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat hamil, melahirkan, dan keguguran berhak mendapat upah penuh.”
Tambahan lagi, Undang-undang No. 4 Tahun 2024 tentang Kesehatan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kelahiran (KIA) memberi jaminan, dalam hal ibu yang hamil dan keguguran diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, maka Pemerintah harus memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang (pasal 5 ayat (3) UU KIA).
Baca juga:
Upah saat Hamil dan Biaya Persalinan
Sumber:
Indonesia. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Indonesia. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Indonesia. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Indonesia. UU No. 4 Tahun 2024 tentang Kesehatan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kelahiran
Internasional. Konvensi ILO Nomor 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga
Internasional. Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas
terakhir diperbarui: 7 November 2024