Mengenal Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) pada 2 Juli 2024. Seperti apa aturan di dalamnya dan apakah aturan ini berhubungan dengan lingkungan kerja? Mari kita simak bersama.

Dalam pembukaannya, UU Kesejahteraan Ibu dan Anak ini disebutkan sebagai tanggung jawab Negara untuk menjamin kehidupan yang sejahtera bagi setiap warga negara dengan mewujudkan sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan, dengan fokus utama pada pemenuhan hak dasar ibu dan anak, khususnya pada fase 1.000 hari pertama kehidupan.


Apa latar belakang dari RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak?

Sejumlah aturan perundang-undangan yang sudah ada telah mengatur terkait anak, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Namun, sejumlah aturan tersebut belum secara menyeluruh mengatur anak sejak dari kandungan ibu hingga masa penting pertumbuhannya di seribu hari pertama kehidupannya. Hal inilah yang mendorong munculnya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yakni dengan tujuan utamanya untuk mewujudkan sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan. 

Mengutip naskah akademik UU KIA tanggal 9 Juni 2022, latar belakang pembentukan UU ini adalah terkait masalah tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan anak karena minimnya pemenuhan nutrisi, hak atas kesehatan, dan perlindungan semasa hamil, melahirkan, dan masa setelah kehamilan. 

Data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menemukan AKI berjumlah 305 dari 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, data Sampling Registration System (SRS) tahun 2018 menyebut 76% kematian ibu terjadi di fase persalinan dan pasca persalinan. Penyebab kematian ibu ini dikarenakan kondisi kesehatan ibu dari sebelum hamil dan melahirkan.

Dari sisi anak, periode emas pertumbuhan anak dihitung dalam periode 1000 hari pertama kehidupannya. Periode tersebut menentukan perkembangan otak, pertumbuhan badan, perkembangan sistem metabolisme tubuh dan sistem kekebalan tubuh.

 

Siapa Ibu dan Anak yang dimaksud dalam UU KIA?

Pasal 1 angka (3) UU KIA menyebutkan, ibu adalah perempuan yang mengandung, melahirkan, menyusui anaknya dan/atau mengangkat anak, yang merawat, mendidik, dan/atau mengasuh anak. Ruang lingkup ini dimaksudkan untuk tetap melindungi anak yang diasuh selain oleh orang tua kandungnya, serta melindungi orang tua yang mengangkat anak untuk dapat menjalankan pengasuhan secara optimal. 

Sementara itu, anak dalam pasal 1 angka (2) UU KIA ialah seseorang yang berada pada fase 1.000 hari pertama kehidupan yang dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia 2 (dua) tahun. 

 

Apa saja hak ibu dan hak anak yang tercantum dalam UU KIA?

Untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin, ibu berhak atas: 

  1. Pelayanan kesehatan dan gizi termasuk kemudahan akses terhadap pelayanan fasilitas kesehatan pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
  2. Pelayanan keluarga berencana
  3. Pemenuhan kesejahteraan sosial
  4. Pendampingan dari suami, Keluarga, pendamping profesional, dan/atau pendamping lainnya
  5. Pelindungan dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, penelantaran, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya
  6. Pelayanan konsultasi, layanan psikologi, dan/atau bimbingan keagamaan
  7. Edukasi dan kesempatan pengembangan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan tentang perawatan, pengasuhan, pemberian makan, dan tumbuh kembang anak
  8. Perlakuan dan fasilitas khusus pada fasilitas, akomodasi yang layak, sarana, dan prasarana umum
  9. Kesempatan memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif dan menjadi pendonor ASI bagi anak yang tidak memungkinkan mendapatkan ASI dari ibu kandungnya karena kondisi tertentu.
  10. Perlindungan, perlakuan, dan fasilitas khusus bagi ibu yang bekerja.

 

Sedangkan hak anak terdiri dari:

  1. Hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal
  2. Identitas diri dan status kewarganegaraan
  3. Mendapat ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai berusia 6 (enam) bulan dan dilanjutkan hingga Anak berusia 2 tahun, kecuali ada indikasi medis atau ibu terpisah dari anak
  4. Mendapatkan asupan gizi seimbang sesuai angka kecukupan gizi dan/atau kebutuhannya, pemantauan pertumbuhan, dan perkembangan, pelayanan kesehatan terhadap penyakit dan masalah gizi, dan standar hidup yang layak bagi pengembangan fisik dan mental
  5. Memperoleh pelayanan kesehatan dan gizi sesuai dengan perkembangan usia dan/atau kebutuhan fisik dan mental
  6. Memperoleh pemenuhan kesejahteraan sosial
  7. Mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang baik dan berkelanjutan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal
  8. Berekspresi, bermain, dan berinteraksi dengan anak yang sebaya
  9. Mendapatkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang, dan 
  10. Pelindungan khusus untuk anak berkebutuhan khusus dan anak dengan kondisi khusus lainnya.

 

Apa saja perlindungan khusus bagi ibu yang bekerja?

Sejak menjadi rancangan, UU KIA mendapat sejumlah perhatian dari serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha karena mengatur secara khusus perlindungan, pengakuan, dan fasilitas yang harus diberikan bagi ibu yang bekerja dan pendampingnya, yakni: 

1.Cuti Melahirkan

a. Setiap ibu yang bekerja berhak atas cuti melahirkan selama paling singkat 3 bulan. Cuti ini terdiri dari 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan

b. Dalam kondisi khusus, ibu berhak memperpanjang cuti melahirkan hingga paling lama 3 bulan berikutnya. Kondisi khusus yang dimaksud seperti ibu dan/atau anak mengalami masalah/gangguan kesehatan, komplikasi pasca persalinan atau keguguran.

c. Dalam kondisi khusus hingga paling lama diberi cuti selama 6 bulan, pembayaran upahnya adalah sebagai berikut: upah penuh 100% selama cuti melahirkan 4 bulan pertama, dan 75% untuk bulan kelima dan keenam.

2. Cuti gugur kandungan selama 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter/bidan.

3. Kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi dan melakukan laktasi selama waktu kerja.

4. Waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak

5. Akses penitipan anak sementara yang terjangkau secara jarak dan biaya

6. Jaminan kerja berupa larangan bagi pengusaha untuk mem-PHK ibu yang bekerja selama menjalani cuti

7. Pemberian hak cuti paling sedikit 2 (dua) hari dan tambahan 3 (tiga) hari berikutnya sesuai kesepakatan dengan pengusaha bagi suami yang istrinya melahirkan/gugur kandungan.

 

Apakah perlindungan khusus bagi ibu yang bekerja selama ini sudah terpenuhi?

Gajimu.com/WageIndicator Foundation  bekerjasama dengan Trade Union Rights Centre (TURC), FNV Mondiaal, Laudes Foundation dan 3 (tiga) mitra Serikat Pekerja/Serikat Buruh yakni TSK SPSI, SPN, dan Garteks, menjalankan program dengan sejumlah kegiatan salah satunya berupa pengumpulan data kondisi kerja di industri TGSL (Tekstil, Garmen, Alas Kaki, dan Kulit). Terkait hak maternitas atau hak yang terkait dengan reproduksi perempuan, hasil survei menemukan sejumlah ketidakpatuhan perusahaan, berikut datanya:

Hak Maternitas Pekerja

2022

2023

3 (tiga) bulan cuti melahirkan

2 dari 149 pabrik (1%) tidak memberikan tiga bulan cuti melahirkan 

6 dari 100 pabrik (6%) tidak memberikan tiga bulan cuti melahirkan 

Pembayaran upah penuh selama cuti melahirkan

8 dari 149 pabrik (5%) tidak membayarkan upah penuh selama cuti melahirkan. 

7 dari 100 pabrik (7%) tidak membayarkan upah penuh selama cuti melahirkan. 

Cuti mendampingi Istri yang melahirkan/gugur kandungan selama 2 hari

7 dari 149 pabrik (5%) tidak memberikan cuti mendampingi istri

18 dari 100 pabrik (18%) tidak memberikan cuti mendampingi istri 

Pembayaran upah penuh selama cuti mendampingi istri

8 dari 149 pabrik (5%) tidak membayarkan upah penuh selama cuti mendampingi istri

19 dari 100 pabrik (19%) tidak membayarkan upah penuh selama cuti mendampingi istri

Penyediaan ruang laktasi dan fasilitasnya

42 dari 149 pabrik (28%) tidak memiliki ruang laktasi

38 dari 100 pabrik (38%) tidak memiliki ruang laktasi 

Waktu istirahat untuk menyusui/memerah ASI selama waktu kerja

28 dari 149 pabrik (19%) tidak memberikan istirahat menyusui/memerah ASI

23 dari 100 pabrik (23%) tidak memberikan istirahat menyusui/memerah ASI

Pekerja yang hamil dan menyusui dibebaskan dari pekerjaan yang dapat membahayakan kandungannya

9 dari 149 pabrik (6%) masih menempatkan pekerja hamil dan menyusui pada pekerjaan yang berbahaya

11 dari 100 pabrik (11%) masih menempatkan pekerja hamil dan menyusui pada pekerjaan yang berbahaya

Larangan mem-PHK pekerja perempuan karena hamil/cuti melahirkan

3 dari 149 pabrik (2%) melakukan PHK kepada pekerja perempuan yang hamil

3 dari 100 pabrik (3%) melakukan PHK kepada pekerja perempuan yang hamil

Sumber: Data Survei Kelayakan Kerja Program Data Academy 2022 dan Program Makin Terang 2023

 

Bagaimana peran pengusaha dalam UU KIA?

Mengenai hak maternitas di tempat kerja, pihak pengusaha memiliki peran yang amat penting untuk memenuhi tanggung jawabnya menyediakan fasilitas, akomodasi sarana, dan prasarana yang layak di tempat kerja seperti fasilitas kesehatan, penyediaan ruang laktasi, tempat penitipan anak, dan penyesuaian tugas, jam kerja, tempat kerja bagi ibu yang bekerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja.

Bagi pemberi kerja, penyedia atau pengelola sarana dan prasarana umum yang tidak melaksanakan ketentuan di atas diberikan pembinaan dan/atau sanksi administratif berupa teguran lisan, dan/atau teguran tertulis.

 

Bagaimana tanggapan berbagai pihak terkait UU KIA?

Sejumlah tanggapan datang dari berbagai pihak, salah satunya dari aktivis perempuan Dian Septi Trisnanti. Dian menyatakan sebaiknya tidak ada pembatasan usia anak sebagaimana saat ini batas usia anak sampai 1.000 hari pertama atau 2 tahun. Hal ini dikarenakan tempat penitipan anak atau daycare seharusnya tidak terbatas pada usia dua tahun, tapi mencapai hingga usia sekolah.

Menurut Dian, ketentuan cuti melahirkan tiga bulan dan tambahan cuti tiga bulan dengan kondisi khusus harus tercantum dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dengan sanksi yang jelas. Bila tidak, ketentuan ini akan sama dengan kondisi dimana banyak terjadi pelanggaran seperti saat ini. Catatan lainnya pada aturan pembayaran upah sebesar 75% di bulan ke 5 dan ke 6 berpotensi diskriminatif pada ibu yang sakit. Mereka cenderung memilih akan tetap bekerja meski dalam kondisi sakit agar menerima upah penuh.

Demikian pula pada ketentuan cuti ayah/suami yang istrinya melahirkan. Dia menilai frasa ‘sesuai kesepakatan’ harus dihapus. Hal ini untuk mencegah relasi kuasa yang timpang antara pengusaha dan pekerja.

Sementara itu Komnas Perempuan dalam siaran pers-nya tanggal 6 Juni 2024 meyakini “UU ini riskan tidak memiliki daya implementasi.” Hal ini didasarkan pencermatan Komnas Perempuan bahwa telah ada sejumlah Undang-Undang dan kebijakan pemerintah mengenai kesejahteraan ibu dan anak yang dinyatakan tetap berlaku namun tidak dapat dilaksanakan, misalnya dalam hal penyediaan gizi seimbang di dalam keluarga miskin. Oleh karenanya “Peningkatan daya koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak atau KPPPA menjadi kunci dari implementasi UU ini.” 

Hal lain yang menjadi perhatian Komnas Perempuan adalah kecenderungan UU KIA meneguhkan  perspektif pembakuan peran domestik perempuan, meski UU ini mendorong pelibatan lebih aktif dari pihak laki-laki. Salah satunya ditunjukkan dengan perumusan mengenai hak ibu pada pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan dan tumbuh kembang anak, namun tidak menjadi hak ayah,”

Komnas Perempuan juga menyayangkan UU KIA belum memuat langkah afirmasi yang juga dibutuhkan bagi perempuan pekerja yang hamil/melahirkan agar dapat kembali bekerja tanpa harus ketinggalan kariernya. Terakhir Komnas Perempuan mengkhawatirkan bahwa kesenjangan antara perempuan pekerja formal dan informal semakin luas dengan kehadiran UU KIA yang hanya dapat dinikmati oleh pekerja sektor formal. Padahal, jumlah terbanyak perempuan pekerja ada di sektor informal.

 

Artikel Terkait

  1. https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-usulan-serikat-buruh-untuk-ruu-kesejahteraan-ibu-dan-anak-lt64893a3cd5412/?page=2#
  2. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-undang-undang-kesejahteraan-ibu-dan-anak-pada-fase-seribu-hari-pertama-kehidupan

 

Terakhir Diperbarui: 23 Juli 2024

 
Loading...