Pagi itu, 27 November 2023, Nurul Huda dan 27 perwakilan perempuan* pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) tingkat pabrik tekstil, garmen, dan alas sepatu (TGSL) melakukan audiensi ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Mereka datang dari empat wilayah yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah membawa pernyataan sikap bersama terkait kekerasan berbasis gender di tempat kerjanya. Mereka menyampaikan pernyataan sikap ini kepada Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia yang berdiri pada tahun 1998 itu, usai mengikuti pelatihan intensif dua hari yang difasilitasi oleh program Makin Terang, yaitu “Akademi Pekerja Perempuan”.
Akademi ini membantu mereka untuk kritis melihat persoalan ketidakadilan gender di dunia kerja yang mayoritas dialami oleh buruh perempuan, melalui cek kepatuhan normatif. Isu yang mereka hadapi seperti kesenjangan upah, promosi jabatan, potongan pajak, kesulitan mendapatkan dispensasi kegiatan SP/SB dibanding pekerja laki-laki, kekerasan seksual, hingga pelanggaran dan pengabaian hak reproduksi perempuan.
Ironisnya, industri garmen Indonesia didominasi oleh pekerja perempuan. Clean Clothes Campaign menyebut jumlahnya sekitar 80% dari total pekerja di industri tersebut. Meski begitu, menurut International Labour Organnisation, pekerja perempuan harus menghadapi risiko keamanan fisik dan emosional, serta kesenjangan upah dan pengembangan karir.
Dari diskusi pelatihan itulah, Nurul Huda dan lainnya berhasil merumuskan empat bentuk kekerasan berbasis gender di industri TGSL yakni diskriminasi, pelanggaran hak kesehatan reproduksi dan maternitas, pelecehan dan kekerasan, serta kekerasan ekonomi.
Rumusan ini semakin kuat dengan data hasil Survei Kelayakan Kerja tahun 2023 di 100 pabrik TGSL pada 3.065 responden. Survei tersebut mencakup delapan topik mengenai kekerasan berbasis gender di dunia kerja dalam survei tersebut yaitu pelecehan seksual, cuti haid, cuti melahirkan, upah penuh cuti melahirkan, cuti ayah (cuti bagi pekerja laki-laki yang istrinya melahirkan/gugur kandungan), upah penuh cuti ayah, ruang laktasi, dan waktu istirahat menyusui.
Tiba di Komnas Perempuan, Nurul Huda, dkk didampingi oleh tim Gajimu dan TURC dan disambut baik oleh Satyatanti Mashudi, Komisioner sekaligus Ketua Tim Perempuan Pekerja, badan pekerja, dan petugas penerima pengaduan Komnas Perempuan.
Selaku juru bicara, Nurul Huda menyampaikan maksud kedatangan dan membuka penyampaian pernyatan sikap. Peserta lainnya turut menyampaikan sejumlah persoalan ketidakadilan gender di dunia kerja yang dialaminya. Kemudian, ada juga yang membahas upaya dan strategi yang sudah dilakukan selama ini sebagai pengurus SP/SB, serta benturan hambatan eksternal dan struktural di luar kontrol SP/SB. Untuk itu, mereka menyampaikan delapan rekomendasi untuk dijalankan oleh Komnas Perempuan dan berbagai pemangku kepentingan.
Menanggapi hal ini, Komnas Perempuan menyampaikan apresiasinya kepada para peserta yang telah mengawal serta membela hak-hak buruh perempuan di tempat kerja. Sejumlah data dari pabrik ini berharga dan akan ditingkatkan sebagai data Nasional yang dimuat dalam laporan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan. Sejak tahun 2001, CATAHU merupakan satu-satunya data Nasional yang mengkompilasi peristiwa Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di Indonesia setiap tahunnya.
Menindaklanjuti komitmen tersebut, pada 7 Maret 2024, sehari sebelum hari Perempuan Internasional (International Women's Day), Komnas Perempuan meluncurkan CATAHU yang memuat data Hasil Survei Kelayakan Kerja 2023 - Program Makin Terang sebagai data tambahan.
Citra Adelina, badan pekerja dari Sub Komisi Pemantauan yang mengkoordinir penulisan CATAHU menyebut, "data yang punya isu khusus ini akan mendukung analisa Komnas Perempuan bahwa memang masih terjadi kekerasan berbasis gender di dunia kerja.”
Tak hanya sampai di situ, Tim Perempuan Pekerja (TPP), tim ad hoc yang dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk mengampu isu buruh perempuan, memanfaatkan data program Makin Terang ini untuk dua kepentingan.
Pertama, TPP memasukkan data survei hak maternitas dalam laporan independen untuk the Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA), yang merupakan agenda dan dokumen kebijakan global paling penting dalam isu kesetaraan gender. Diadakan tiap 15 tahun sekali, BPfA saat ini telah diadopsi oleh 189 negara. Tiap negara didorong untuk membuat laporan perkembangan dan tantangan dalam implementasi the Beijing Declaration and Platfrom for Action.
Fatma Susanti, badan pekerja TPP menerangkan, “selain data CATAHU, Komnas Perempuan tidak punya data lainnya untuk merekapitulasi implementasi hak maternitas. Waktu itu aku mencari-cari, dan pas ada data survei yang diberikan dari tim Gajimu.”
Kedua, data Makin Terang juga telah dicantumkan dalam Kerangka Acuan (Term of References) kegiatan pemantauan hak maternitas paska UU Cipta Kerja di sektor ASN, Swasta, dan BUMN yang akan dilaksanakan oleh Komnas Perempuan sepanjang tahun ini.
Santi berharap, data penting seperti ini dapat menjadi data nasional yang bisa menggambarkan kekerasan terhadap perempuan pekerja. Baginya, data Makin Terang punya potensi besar menjadi data nasional dengan menambah cakupan wilayah, dimensi kekerasan di dunia kerja, dan perluasan sektor industri.
“Aku membayangkan ini seperti cita-cita Komnas Perempuan ya untuk memiliki data atau laporan nasional”, tegasnya.
*Kami mengakui kekerasan berbasis gender terjadi pada seluruh ragam identitas gender. Cerita ini fokus khusus kepada pekerja perempuan untuk menghadapi tantangan-tantangan terkait.
Foto: Perwakilan pengurus perempuan SP/SB di sektor TGSL melakukan audiensi di Kantor Komnas Perempuan