Datang dari wilayah Banten dan sekitarnya, 21 pengurus serikat pekerja mengikuti Workshop Advokasi Berbasis Data program Makin Terang di Tangerang Selatan Banten pada 20-22 September 2024. Workshop ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas organisasi SP/SB dalam strategi advokasi dan perundingan berbasis data.
Hari Pertama
Ichsan dari TURC membuka pelatihan dengan perkenalan satu sama lain, kesepakatan tata tertib, sampai kebijakan safeguarding selama pelatihan. Lalu, Andina dari Gajimu membawakan sesi pertama mengenai ‘Pengenalan Program Makin Terang’.
Agar serikat pekerja dapat mengurai dan memahami akar masalah perburuhan, Ichsan kembali memfasilitasi sesi “Memahami Akar Masalah Pelanggaran Hak Perburuhan di Perusahaan”. Menurutnya, salah satu metode mencari akar masalah yaitu dengan metode pohon masalah. Setelah mengerti konsepnya, peserta kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok beserta isu perburuhannya masing-masing. Peserta beranggapan metode ini cukup efektif untuk mencari akar masalah.
Kemudian, Raja Siregar dari FSB Garteks KSBSI memfasilitasi sesi “Serikat Buruh Sejati”. Ia mengajak peserta untuk memikirkan ulang apa itu serikat buruh sejati dan perbedaan hak dan kepentingan. Menurutnya, kekuatan serikat buruh terletak di jumlah anggota, iuran organisasi, serta advokasi dan negosiasi. Praktik baik dari hasil perjuangan serikat buruh yakni protokol kebebasan serikat di perusahaan sepatu (FoA Protocol), MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia) yang berhasil mendorong kenaikan upah, dan KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial) pendorong munculnya jaminan sosial yang saat ini dijalankan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Untuk membongkar ketidakadilan gender, peserta selanjutnya berdiskusi mengenai “Konsep Dasar Gender” oleh Dela Feby dari Gajimu. Setelah mendiskusikan konsep seks dan gender, peserta melakukan latihan simulasi untuk menguji pemahaman pada kedua konsep tersebut. Secara umum, semua peserta paham mengenai perbedaannya. Meletakkan peran sosial pada identitas seksual tertentu membuat kekerasan berbasis gender terjadi.
Usai istirahat, fasilitator mengajak peserta untuk melakukan simulasi “Privilege Walk”. Tiap peserta akan mendapatkan kertas berisi profil pekerja dengan latar belakang (usia, pendidikan, jenis kelamin, anggota/pengurus serikat, posisi/jabatan) yang berbeda-beda. Peserta akan maju bila ia dapat memperoleh suatu perlakuan atau kondisi khusus sesuai dengan latar belakangnya itu. Bila tidak peserta hanya diam di tempatnya. Setelah selesai, peserta menyimpulkan sebagian kelompok yakni perempuan, berlatar belakang miskin, pendidikan dan jabatan rendah kesulitan meraih kesempatan tersebut
Melanjutkan sesi privilege walk dan konsep dasar gender, Jumisih dan FSBPI membawakan materi “Ketidakadilan Gender”. Peserta kemudian diminta membentuk kelompok berdasarkan pabriknya, dan menjawab komposisi jumlah anggota dan pengurus SP/SB perempuan dan laki-laki di pabrik, proses pemilihan pengurus, kesempatan bagi anggota dan pengurus perempuan untuk menyampaikan pendapat dan menjadi pertimbangan, dan ketidakadilan yang dirasakan sebagai anggota dan pengurus perempuan.
Hasilnya, di sebagian besar pabrik, anggota SP/SB perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki, tetapi, justru lebih banyak pengurus SP/SB laki-laki daripada perempuan. Salah satu pengurus perempuan berkomentar, “anggota perempuan lebih banyak, tapi di pengurus lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Itu masalah. Karena kedepannya semakin miris untuk kaderisasi perempuan. Sementara isu perempuan itu banyak yang harus diangkat dan perjuangkan.”
Untuk persoalan kendala kepengurusan perempuan, sebagian menjawab ada kendala dukungan keluarga, terutama untuk kegiatan di luar kota dan tidak ada yang mengurus anak di rumahnya. Seorang peserta perempuan menyebut beban domestik di rumah tangga masih ditimpakan pada perempuan/istri “Kalau saya lihat, tanggung jawab di rumah tangga lebih banyak perempuan dari laki-laki. Jadi kesenjangannya lebih banyak.” Sebagian kelompok lainnya merasa perempuan tidak ada kendala dan tidak ada ketidakadilan gender di serikatnya.
Jumisih selaku fasilitator menyoroti minimnya perempuan yang menjadi ketua serikat pekerja. Ini dampak dari identitas sosial yang menganggap perempuan tidak cocok menjadi pemimpin. Baginya, dukungan dan kesempatan sangat penting untuk mengatasi persoalan kaderisasi perempuan di serikat buruh.
Hari Kedua
Setelah ulasan semua sesi di hari pertama, peserta siap menuju sesi berikutnya yakni “Data & Informasi” oleh Biko dari TURC. Di sesi ini, peserta disuguhkan dengan video dari TURC mengenai penggunaan data. Kemudian, diskusi berlanjut pada perbedaan data dan informasi serta perbedaan data kualitatif (informasi yang berbentuk pemaparan dan tidak bisa diukur dengan angka) dan data kuantitatiff (informasi yang bisa diukur, dihitung dan dibandingkan).
Venda dari TURC melanjutkan diskusi “Pengantar Advokasi”. Setelah penjelasan pengertian, tujuan, sasaran, dan tahapan advokasi, peserta berdiskusi mengenai praktik advokasi yang sebenarnya sudah dilakukan masing-masing. Salah satu peserta menggarisbawahi fungsi advokasi ini salah satu dari tiga fungsi utama serikat pekerja selain edukasi dan organisir. Menurutnya, serikat pekerja punya peran advokasi sebab implementasi hukum ketenagakerjaan terkadang melenceng. Selanjutnya, peserta dibagi menjadi tiga kelompok dengan satu studi kasus untuk menganalisis kebutuhan data kualitatif & kuantitatif, cara pengumpulan data, serta strategi advokasinya.
Untuk melengkapi praktik advokasi berbasis data, dalam sesi selanjutnya Fifi, Andina, dan Andira dari Gajimu menjelaskan cara membaca dan menggunakan data & informasi yang ada di website Gajimu. Informasinya mencakup upah minimum, hukum ketenagakerjaan, database PKB, hasil survei kelayakan kerja, dan polling prioritas pekerja. Untuk berunding dengan pihak manajemen, serikat pekerja dapat menggunakan data-data tersebut untuk melengkapi argumennya.
Di penghujung hari kedua, Ichsan dari TURC mengenalkan instrumen bengkel kerja untuk mengecek temuan ketidakpatuhan per perusahaan yang berhasil dikumpulkan dalam survei kelayakan kerja dan kemudian merancang strategi advokasi menanggapi ketidakpatuhan pabrik dan memperbaiki kondisi kerja. Proses ini didampingi oleh satu fasilitator dari Gajimu atau TURC.
Hari Ketiga
Usai mengulas setiap sesi diskusi hari kedua, tiap kelompok perusahaan mulai mempresentasikan hasil rencana advokasinya. Topik-topik yang dipilih mencakup mencegah PHK terhadap pekerja hamil, cuti haid tanpa surat keterangan dokter, pekerja kontrak menjadi pekerja tetap, penyediaan APD, ruang laktasi, cuti haid tanpa potongan gaji, cuti melahirkan selama 14 minggu, fasilitas bagi serikat pekerja, hingga pengajuan alat kerja berupa komputer.
Topik cuti haid masih menjadi topik yang paling sering dibahas dan diperjuangkan oleh serikat pekerja di sektor TGSL. Sebagai contoh, terdapat kebijakan perusahaan yang memberi insentif sebesar 25 ribu rupiah per hari kepada perempuan yang tidak mengambil cuti haid. Menanggapi ini, salah satu peserta perempuan menyatakan aturan cuti haid yang ada menjadi terdegradasi dengan hak fundamental diganti dengan penggantian uang.
“Jadi kalau UU sudah mengatur cuti haid, ya sudah cuti,” tegasnya.
Pelatihan diakhiri dengan pengisian test tertullis untuk mengetahui pemahaman peserta pada materi yang dibahas dalam workshop dan umpan balik serta foto bersama peserta dan fasilitator TURC dan Gajimu.
Baca juga: